Selasa, 15 Juni 2010

Pesan Ini, Nak, Kutulis Untukmu


Aku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.

Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap…

Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.



Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada doa yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.

Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa ditempuh dengan waktu singkat.

Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?

Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata perkiraan itu benar.

Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan kening yang hina ini untuk berdoa kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban—ah, rasanya bapakmu belum santun dalam berdoa. Kumohon dengan sangat agar Ia memberi pertolongan.

Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.s. al-‘Alaq [96]: 1-5).

Seusai shalat dua raka’at dan memanjatkan doa, anakku, segera bapakmu ini mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris tak percaya, anakku, Allah Ta’ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu. Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.

Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab r.a., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”

Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam al-Qur`an, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.s. Muhammad [47]: 7).

Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatullah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.

Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam akidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.

Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung jawab dan lupa pada diri sendiri.

Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari, kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari zikir-zikir panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.

Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.

Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.
Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.

Diambil dari Buku yang berjudul ‘Saat Berharga Untuk Anak Kita’
Penulis: Mohammad Fauzil Adhim
Harga: Rp. 36.000,-
Penerbit: Pro-U Media

Fauzil Adhim: Tanpa TV Anak Berfikir Lebih Luas

Pengaruh televisi dalam keluarga Indonesia tampaknya sudah demikian kuat menyatu dengan keseharian masyarakat. Data Bank Dunia tahun 2004 menunjukkan, ada 65 persen lebih rumah tangga pemilik televisi di Indonesia. Bentuk media audio visual yang menarik dan lengkap dari si ”tabung ajaib” menjadikan ia lebih digandrungi dibandingkan dengan produk budaya lain, seperti buku. Hiburan yang disajikan mampu menarik mayoritas penduduk menekuni tayangan televisi dalam kegiatannya sehari-hari. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, lebih tiga perempat (86 persen) dari seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas di Indonesia memiliki aktivitas rutin mengikuti acara televisi dalam seminggu. Tapi jumlah itu tak termasuk Mohammad Fauzil Adhim (38), pria yang namanya melejit lewat bukunya “Kupinang Engkau dengan Hamdalah” (1977) justru tak memiliki TV. Mungkin akan terasa janggal bagi semua orang. Bagaimana cara dia menjelaskan pada anak tanpa hiburan TV di rumah? Berikut petikannya wawancara dengan laki-laki kelahiran Mojokerto, Jawa Timur pada 29 Desember l972 ini.

Apa alasan Anda menolak TV di rumah?

Saya tidak menolak, tapi karena saya melihat tidak ada alasan yang membuat TV layak untuk dipelihara di rumah, sehingga saya tidak memelihara TV.

Sejak kapan itu Anda lakukan?

Memang sejak awal saya sudah tidak memelihara TV. Tapi suatu saat, karena penasaran ingin tahu seperti apa sih TV sekarang, saya dan istri pernah juga mencoba menyewa TV. Nah, pada saat TV itu distel, justru anak pertama saya, Fathimah yang memprotes, dan minta TV itu dimatikan. Sampai dia bilang,”Ibu dimatiin, kok Ibu suka sih nonton film yang jelek-jelek. Itu kan nggak bagus.” Makanya TV akhirnya dimatikan dan kita tidak pernah nyewa lagi.

Mudharatnya apa?

Tidak ada stasiun TV yang mengudarakan acara yang benar-benar mengaktifkan otak anak, dan menggugah anak terlibat dalam proses berfikir. TV justru menyedot perhatian anak yang dalam jangka panjang bisa mempasifkan otaknya. Belum lagi soal content (isi). Film-film yang ditayangkan maupun iklan pariwaranya sebagian besar tidak layak untuk dikonsumsi anak. Katakanlah misalnya ada acara yang cukup bagus, itu saja mengenaskan.

Berarti Anda tidak butuh TV?

Saya merasakan tidak ada kebutuhan dari TV. Karena itu mengapa saya harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Menurut saya hiburan yang paling mahal ya TV. Untuk mendapatkan sampah kita harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah, padahal dengan dana segitu, kita bisa membelikan anak-anak kita ensiklopedi, atau bisa kita belikan komputer atau buku, atau hal-hal lain yang jelas manfaatnya.

Di TV kan juga ada tayangan pendidikan yang bermanfaat untuk anak?

Pertama, Ayat Al-Quran bisa ditempelkan di tissue, di kaleng bir. Tapi kalau ada tulisan bismillah di kaleng bir bukan berarti birnya halal. Khamr pun dikatakan ada manfaatnya, tapi kenapa diharamkan? Berarti ada manfaatnya tidak cukup untuk menjadikan sesuatu itu halal. Kedua, tayangan-tayangan yang diperuntukkan anak-anak sebagian besar tidak dikemas sesuai dengan perkembangan anak, dan tidak dikemas untuk merangsang kemampuan berpikir aktif maupun konstruktif, sehingga anak hanya menjadi pihak yang mengalami terpaan exposure dari berbagai tayangan TV.

Bagaimana dengan kebutuhan informasi yang bisa didapatkan di TV?

Sumber informasi, sumber untuk mendapatkan kebutuhan psikis berupa perhatian, kebutuhan untuk mendengarkan itu ada pada orang tua, dan orang-orang penting lainnya dalam keluarga. Kalau dalam ilmu psikologi dikenal dengan significant person atau significant others. Sejauh ini, sepanjang yang saya tahu, kualitas attachment yang baik meningkatkan kreatifitas anak, meningkatkan kecerdasan anak dan meningkatkan percaya diri anak. Anak cenderung akan memiliki konsep diri yang bagus dan cenderung lebih bisa mengelola dirinya.

Apa dampak lebih jauh dari menonton TV?

Sejauh yang saya pahami sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli psikiatri Amerika Serikat, tayangan TV yang sering disaksikan anak adalah tayangan-tayangan yang tidak dikemas untuk anak, sehingga banyak menonton TV menyebabkan anak otaknya pasif dan cenderung tidak suka berpikir. Dan jika anak tidak suka berpikir, maka anak cenderung tidak mampu mengkomunikasikan perasaannya dengan baik. Dan itu berarti menambah kesulitan kita dalam mendidik anak.

Bagaimana respon anak dengan tidak adanya TV di rumah?

Anak-anak memang saya didik untuk suka membaca. Karena itu mereka cenderung bisa mengungkapkan gagasannya dengan lebih baik. Dan anak-anak yang suka membaca itu cenderung memiliki informasi yang lebih kaya. Bahkan terkadang kalau sudah seperti itu, anak-anak malah suka usul pada saya. Misalnya Fathim, ketika melihat gambar mobil yang ada TV-nya, justru mengatakan pada saya, ”Bapak kalau mau beli mobil tak usah pakai TV, karena di TV banyak yang jelek.”

Bagaimana Anda menjelaskan kepada Anak?

Jadi yang penting prosesnya. Kalau anak langsung dilarang, anak akan penasaran. Tapi cukup dengan dialog. Sebagaimana sekarang Fathimah ndak mau makan di Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, ndak mau minum air mineral yang mereknya Aqua dan Ades. Semua itu bisa ditanamkan karena ada dialog, kalau semua itu produk boikot. Begitu juga dengan menyikapi TV, harus ada dialog.

Pernah ditanyai anak tentang TV?

Saya pernah ditanya anak, ”Bapak kok nggak punya TV. Kata temanku kalau ndak punya TV berarti miskin.” Ini kan berarti social pressure, tekanan-tekanan masyarakat. Nah di sinilah saya perlu menjelaskan setepat-tepatnya. Ya karena kebetulan Allah memberikan rezeki pada saya maka saya gantikan dengan benda-benda yang ada manfaatnya, dan harganya melebihi TV, seperti ensiklopedi. Sekarang anak saya punya 3 ensiklopedi. Itu memberikan pemahaman pada anak bahwa ini lebih berharga dari TV, dan saya memperkuat dengan dialog bahwa ini lebih baik dari TV.
Apa pengganti TV, selain ensiklopedi?

Kalau anak sudah senang buku apakah kemudian dia masih ingin mencari ganti yang lain. Jadi tidak sekedar ensiklopedi, tapi komputer, buku atau bacaan-bacaan lainnya. Atau juga ketika anak-anak butuh hiburan, saya belikan tenda yang mereka bisa bermain di sana.

Anak-anak tidak bosan baca ensiklopedi dan buku terus-terusan?

Kalau otak anak itu aktif, maka dia akan cenderung aktif mencari. Kalau dia sudah bosan membaca, maka dia akan mencari kegiatan yang inovatif lainnya. ketika anak-anak suka membaca, maka mereka cenderung komunikatif, lebih mampu mengungkapkan perasaannya. Misalnya, suatu saat anak saya minta dibelikan buku. Untuk apa? Dia mau menulis buku harian. Selain itu, ketika dia tidak terlalu fokus pada TV, saya lihat mereka cenderung menyukai benda-benda intelektual, seperti memotret sendiri. Ia mengembangkan berbagai macam keterampilan karena pikirannya berkembang. Pikirannya tidak tersedot oleh bayangan yang sebenarnya tidak diperlukan itu.

Nilai positif rumah tanpa TV?

Tanpa TV anak akan memiliki kesempatan berfikir yang lebih luas, anak akan mengembangkan inisiatif-inisiatif yang lebih aktif dan progresif. Sementara dengan adanya TV anak siap untuk dicekoki. Anak belum sempat berpikir sudah dijejali dalam tempo yang sangat tinggi. Ketika anda melihat TV, maka dalam 1 menit akan terjadi perubahan-perubahan gambar yang luar biasa cepatnya. Padahal masa kanak-kanak adalah masa yang paling pesat perkembangan otaknya. Semestinya pada masa itulah rangsang-rangsang otak itu dimaksimalkan. Anak betul-betul diberi pengayaan rangsang otak yang luar biasa.

Mengapa demikian?

Otak itu berkembang dari usia 0 – 6 tahun, dan porsinya mencapai 80 %. Sementara sisanya yang 20 % terjadi pada usia-usia berikutnya. Dari usia itu, yang lebih penting lagi adalah 18 bulan pertama usia anak. 20% perkembangan otak terjadi pada usia itu. Maka alangkah sayangnya jika pada usia-usia yang sangat strategis ini justru anak-anak tidak memperoleh rangsangan yang maksimal. Dan sebaliknya justru hanya memperoleh exposure dari TV. Padahal banyak kegiatan lain yang bisa merangsang daya nalar anak, contohnya membaca.

Dampak anak yang suka menonton TV?

Saya kira anak yang biasa menonton TV, maka di sekolah pun TV memiliki daya tarik yg lebih besar baginya. Karena itu sekolah tidak menjadi surga baginya. Karena di TV anak tidak akan banyak dapat informasi. Ada kasus yang pernah saya dapatkan, ketika ada orang tua yang membawa anaknya, saya kira dia ini idiot sehingga dia tidak naik kelas dan nilainya nol semua, tapi ternyata anak ini tidak idiot. Ia lebih senang nonton TV dan main game, sehingga ketika di kelas, pikirannya tidak di kelas, tapi di rumah, yaitu di TV.

sumber : Hidayatullah.com