Jumat, 10 Februari 2012

copy paste dari @kupinang

Muadz bin Jabal r.a., pernah berkata, “Tuntutlah ilmu pengetahuan karena dengan ilmu akan menimbulkan rasa takut kepada Allah.
Mempelajari ilmu pengetahuan termasuk ibadah, menelaahnya dianggap membaca tasbih, meneliti itu setara jihad, mengajarkannya kepada orang bodoh dihitung sebagai sedekah & mendiskusikannya kepada para pakar dianggap sebagai suatu bentuk kedekatan kepada-Nya.”
 Ilmu adalah penerang jalan dan penuntun langkah agar tak sesat. Karenanya kita harus memerhatikan dari mana ia keluar.
Di antara orang-orang yg mngajarkan pngetahuan kpd orang lain, ada yg memiliki kelayakan, ada yg sdg melengkapi dirinya dg kepatutan tp ada pula yg tiada kebaikan pd dirinya kecuali u/ ditinggalkan. Sebab sumber yg keruh & rancu tak membawa kebaikan apa pun kpd kita kecuali keburukan & kegelisahan. Mereka hanya membawakan untuk kita pengetahuan & keasyikan, tapi tanpa jalan terang yang menyejukkan.
Teringat perkataan Fudhail bin Iyadh. Ia pernah mengingatkan, “Ulama itu banyak, namun ahli hikmah yang bijaksana itu sedikit Sesungguhnya yg dituju dr ilmu ada hikmah kebijaksanaan. Brgsiapa yg dianugerahi hikmah, maka ia telah mendapat karunia tak terhingga.”
Jika ulama' yg patut jadi acuan akan menerangi hati & menuntun jalan, maka mereka yg mengulama'kan diri akan mendatangkan fitnah besar.
Sufyan ats-Tsauri pernah berkata, “Berlindunglah kalian kepada Allah dari fitnah ahli ibadah yg bodoh, (dan) fitnah ulama yang lacur. 
Sesungguhnya bahaya fitnah mereka berdua ('abid yg bodoh & ulama' lacur) adalah malapetaka besar bagi setiap orang yang mengenainya.”
 Mengingat bahayanya lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil, kita perlu mengenali tanda-tandanya
Sesungguhnya setiap perkara membawa pertanda. Demikian pula ulama yg ucapannya membangkitkan fitnah, mereka membawa pertanda
Ada beberapa tanda yg dapat kita kenali. Sbagian di antaranya, dapat kita prbincangkan saat ini.
 Pertama, berlagak bijak. Abu Bakar Muhammad menuturkan, “Ulama lacur bertutur-kata bagai ahli hikmah agar disangka bijaksana.
Ia tak khawatir besarnya tanggung-jawab dari ucapan-ucapannya karena memang ia tidak mengamalkannya.”
Kedua, sombong. “Ulama” semacam ini akan sibuk menyombongkan diri dengan bertambahnya pengetahuan yang mereka dapat.
Apabila mereka bertemu dengan orang lain yang dianggap lebih rendah, atau belum bersinar karismanya, ia akan meninggikan diri
 Ia tak segan-segan mengucapkan kalimat yg membuat hati jadi ciut dan dada jadi sempit. (atau sebaliknya, merasa aman dari salah & dosa).
Sebaliknya, jk ia duduk bersama orang yg dianggap lebih tinggi, ia akan menundukkan diri dg menampakkan sikap seolah-olah tawadhu’.
Mereka mnjadikan orang-orang bodoh sbg kaki tangannya & mmbodohi orang-orang yg brpengharapan kpdnya shg ia dapat melanggengkn pengaruh.
Adapun kpd orang yg lebih tinggi kedudukannya, ia menampakkan ketundukan & mendekatkan diri agar disebut sbg golongan berderajat tinggi.
Ia mendekat agar dianggap sederajat oleh masyarakat. Bukan karena ingin mengambil keutamaan ilmunya.
Ketiga, merasa dbutuhkan. Bukan sadar dirinya dibutuhkan. Mereka merasa sangat terhormat & sangat dibutuhkan shg sibuk meninggikan diri.Keempat, merasa serba tahu sehingga berani menjawab pertanyaan apa pun, bahkan sampai ke hal-hal yg mereka paling tidak tahu.