Menegakkan Adab Pada Murid
by Mohammad Fauzil Adhim on Monday, July 23, 2012 at 9:06am ·
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Perkara yang tampaknya sepele, tetapi paling sulit kita tegakkan adalah niat ikhlas karena Allah Ta’ala dan bertujuan hanya untuk meraih ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Padahal niat merupakan perkara penting yang dengannya nilai amal ditentukan. Begitu pula dalam menuntut ilmu, niat merupakan aspek tak terlihat yang sangat berpengaruh terhadap apa yang akan mereka peroleh selama belajar. Itu sebabnya, pendidik harus senantiasa mengingatkan mereka dengan penuh kesungguhan dan kreativitas. Seorang pendidik membangun niat pada peserta didik agar mereka siap menjadi murid, yakni pribadi yang secara aktif berkeinginan sangat kuat terhadap kebaikan, kebenaran dan ilmu. Bukan sekedar mendengar, menerima dan mengingat atau mencerna saja. Inilah proses penting untuk menyiapkan mereka dari sekedar peserta didik menjadi murid dalam makna sebenarnya.
Sejak kapan kita kenalkan anak dengan masalah niat? Sejak jenjang paling awal pendidikan mereka. Lalu kita berusaha menumbuhkan pada diri mereka niat ikhlas itu tahap demi tahap. Kita menumbuhkan, membangun, menguati dan merawat niat itu dengan penuh kesungguhan karena niat merupakan masalah yang paling menentukan. Pada saat yang sama, kita perlu kreatif dalam menata niat pada diri murid-murid kita karena sesuatu yang bersifat rutin untuk jangka panjang akan terasa hambar jika kita ingatkan dengan cara yang sama setiap saat.
Mari kita ingat sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tentang betapa pentingnya niat, “Sesungguhnya ‘amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. Sesungguhnya setiap orang itu mendapat sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka pahala hijrahnya adalah pahala hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah karena ingin mendapat dunia atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia hanya akan mendapatkan apa yang dituju.” (HR. Bukhari & Muslim).
Khusus terkait niat menuntut ilmu, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mengharap wajah Allah ‘Azza wa Jalla, lalu tidaklah dia mempelajarinya melainkan untuk mencari keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium aroma surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah & Al-Hakim).
Maka betapa celaka orang yang bertekun-tekun menuntut ilmu tapi salah niat, meski yang ia tekuni adalah ilmu dien. Padahal menuntut ilmu merupakan jalan yang memudahkan seseorang meraih surga, sebagaimana sabda Nabi saw., “Dan barangsiapa yang meniti jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Lihatlah, betapa berbedanya. Sama ilmu yang dipelajari, tetapi beda niat yang menggerakkannya, beda pula nilainya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Dan sesungguhnya, menempuh jalan yang Allah Ta’ala ridhai merupakan sarana untuk meraih barakah Allah Ta’ala atas setiap yang kita raih. Jika niat mencari ilmu lurus dan bersih karena Allah Ta’ala, maka baginya ilmu yang penuh barakah; ilmu yang membawa kebaikan bagi yang menguasainya dan bahkan bagi orang lain.
Di sisi lain, lurusnya niat dan kuatnya tekad berpengaruh besar terhadap pribadi murid agar siap berpayah-payah mengejar ilmu. Apa yang mereka dapati di kelas dan berbagai majelis ilmu boleh jadi tidak menyenangkan, cara mengajar guru datar-datar saja, tetapi mereka mampu menikmati proses mencari ilmu tersebut bersebab lurusnya niat dan kuatnya tekad.
Pertanyaannya, apakah yang kita lakukan untuk menumbuhkan, membangun, merawat dan menguatkan niat anak didik kita? Atau boleh jadi kita perlu bertanya lebih mendasar lagi, yakni sudahkah kita tumbuhkan kesadaran pada diri mereka tentang niat mencari ilmu?
Menghormati Guru dan Bersabar dalam Memungut Ilmunya
Imam Syafi’i rahimahullah menasehati para penuntut ilmu:
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ
“Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: 1. kecerdasan, 2. semangat, 3. sungguh-sungguh, 4. biaya, 5. bersahabat (belajar) dengan ustadz, 6. membutuhkan waktu yang lama.”
Inilah bekal yang harus kita tanamkan kepada anak didik. Merupakan tugas guru untuk menumbuhkan pada diri anak kesadaran untuk mengerahkan kecerdasannya secara optimal dalam menyerap ilmu dan mengambil manfaat dari penjelasan guru. Pada saat yang sama, guru secara serius dan terencana membangkitkan semangat murid untuk belajar; bukan semata mengajar dengan cara menarik, tetapi terutama bagaimana murid memiliki semangat yang tak putus-putus, meski terik matahari sedang menyengat. Tugas guru menumbuhkan semangat dalam diri anak. Bukan sekedar karena suasana yang kondusif. Dan ini perlu dilakukan di awal anak masuk sekolah, lalu merawatnya hingga masa-masa berikutnya sehingga anak yang semula tidak bergairah di kelas, berubah menjadi sangat merindukan belajar bersama guru.
Nah.
Jika semangat belajar sudah tumbuh dengan baik, maka bekal berikutnya yang harus ditanamkan oleh guru adalah kesediaan murid untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Inilah bekal awal yang perlu mendapat perhatian utama dari guru dan lembaga pendidikan. Di antara bentuk kesungguhan itu adalah kesediaan murid untuk mendahulukan kepentingan pembiayaan belajar daripada pemenuhan keinginan atau bahkan kebutuhan yang lain. Ini bukan berarti keberhasilan sekolah ditentukan oleh biaya yang mahal, tetapi lebih kepada bagaimana murid bersedia menyisihkan uangnya untuk menuntut ilmu lebih daripada pemenuhan keinginan terhadap makanan, pakaian dan lainnya. Terkait dengan ini, ada tugas penting yang perlu dilakukan oleh guru bersama lembaga pendidikan untuk membekali murid dengan kemampuan mentasharrufkan harta dengan tepat sesuai tuntunan syari’at. Saya berharap dapat menghadirkan satu tulisan yang secara khusus membahas tentang masalah ini.
Wujud lain kesungguhan menuntut ilmu adalah kesediaan meluangkan waktu yang lama dalam belajar. Kesadaran bahwa tiap-tiap ilmu memerlukan waktu panjang untuk menguasainya dengan benar-benar matang juga penting dalam menjaga semangat. Jika kesadaran itu ada, maka murid akan lebih mampu bersabar. Mereka tidak cepat putus asa. Kesediaan untuk menyisihkan waktu yang lama juga sangat penting dalam menjaga penghormatannya kepada guru. Mereka yang hanya mengikuti pembelajaran apa adanya hanya mendapatkan ilmu sebatas yang didengar sekilas. Tetapi mereka yang bersedia meluangkan waktu lebih panjang, akan bertekun-tekun belajar, termasuk dalam mendapatkan curahan ilmu dari guru di luar kelas.
Pada akhirnya, kita harus menanamkan keinginan yang kuat pada diri murid untuk bersahabat dengan guru, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghormati guru, mendengarkan dengan penuh perhatian dan menjadikan guru ridha kepadanya. Dalam tulisan terdahulu yang bertajuk Kuncinya Pada Guru, kita telah berbincang tentang sikap yang harus dimiliki guru. Inilah penentu sukses pendidikan. Selaras dengan itu, guru pun bertanggung-jawab menjadi murid memiliki penghormatan yang tulus. Guru harus menanamkan sikap ini bukan karena mengingini penghormatan, tetapi karena sadar betul bahwa ia harus menyiapkan murid untuk memiliki bekal sukses dalam menuntut ilmu, yakni menghormati guru.
Mari kita ingat kembali 3 bekal sukses sebagai murid dapat mereka miliki, yakni percaya kepada guru, menghormati (memuliakan) guru serta memiliki ikatan emosi yang sangat kuat terhadap guru. Bantulah mereka agar dapat memiliki 3 bekal tersebut dengan menanamkan kesadaran, menginspirasi dan menegakkan manner & etiquettes (adab) terhadap guru, baik di sekolah maupun di kelas. Dalam hal ini, sekolah harus memiliki aturan dan batasan efektif.
Wallahu a’lam bish-shawab.
::: Ini merupakan tulisan ke-5 dari serial tulisan tentang ta'dib di majalah Hidayatullah. Mohon do'anya semoga Allah Ta'ala mampukan saya menuliskan hingga 12 edisi. Semoga Allah Ta'ala limpahi ilmu yang manfaat kepada kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar